Pojok Pantura | PojokPantura.Com - Perdebatan tentang waktu kapan masuknya agama Islam di Nusantara oleh semua kalangan tidak akan pernah habisnya. Terlepas dari itu, para sejarawan Islam meyakini era Walisongo abad 15-16 M adalah masa berkembang pesatnya syiar agama Islam di Nusantara.
Sebelum era Walisongo, syiar Islam belum begitu terstruktur dan massif. Ada berbagai kendala diantaranya masih kokohnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Nusantara. Semisal Majapahit yang membuat pengaruh Hindu-Budha masih sangat kuat. Ditambah tidak terorganisirnya para pendakwah Islam awal di Nusantara menjadi penyebab lain stagnannya syiar Islam. Selain masyarakat yang sudah sangat yakin terhadap sistem kepercayaan-kepercayaan yang sudah mereka anut sebelumnya, maka membuat Islam hanya ada di komunitas pedagang-pedagang Islam saja.
Mulai di era Walisongo dakwah Islam secara bertahap mulai diterima oleh masyarakat pribumi. Tokoh kunci yang harus kita bahas bila mempelajari sejarah Walisongo adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Sunan Ampel datang ke Jawa bertujuan untuk mengunjungi bibinya bernama Dwarawati yang dipersunting oleh Raja Majapahit bernama Sri Kertawijaya.Beliau datang bersama rombongan kecil diantara yang ikut adalah ayahnya bernama Syaikh Ibrahim As-samarkandi, saudara tuanya Ali Murtadho dan saudara sepupunya Raden Burereh (Abu Hurairah).
Menurut Hikayat Hasanudin yang dikupas oleh J. Edel (1936) menjelaskan bahwa pada waktu kerajaan Champa ditaklukan oleh Raja Koci, Raden Rahmat sudah bermukim di Jawa. Itu berarti Raden Rahmat ketika datang ke Jawa sebelum tahun 1446 Masehi. Kemudian setelah sampai di Majapahit, beliau diberi hadiah tanah dikawasan Ampel Denta Surabaya yang nantinya didirikan Pondok Pesantren sebagai pusat studi Islam.
Menurut keterangan Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo (2016) , Salah satu usaha dakwah Sunan Ampel yakni melalui penguatan jaringan kekerabatan lewat pernikahan oleh putra-putrinya sewaktu menginjak usia dewasa. Putri dari hasil pernikahan dengan Dengan istri pertamanya, Nyai Karimah anak dari Ki Bang Kuning, mereka dikaruniai dua orang anak yang bernama Mas Murtosiyah dinikahkan dengan santrinya, yaitu Raden Paku yang bergelar Sunan Giri. Adik Mas Murtosiyah yang bernama Mas Murtosimah dinikahkan pula dengan santrinya yang lain, yaitu Raden Patah yang menjadi Adipati Demak.
Santrinya Sunan Ampel yang lain, Raden Kusen, adik Raden Patah dinikahkan dengan cucu perempuannya yang bernama Nyai Wilis Dengan Istri Keduanya, Dewi Candrawati, Sunan Ampel memiliki lima orang anak, yaitu Siti Syare’ah, Siti Mutmainah, Siti Sofiah, Sunan Bonang dan Sunan Drajat.
Sunan Gunungjati pun setelah sampai di Jawa, beliau berguru ke beberapa orang, salah satunya kepada Sunan Ampel. Kemudian setelah dirasa mampu, maka sunan Ampel memerintahkan Sunan Gunungjati untuk mendakwahkan Islam di wilayah Cirebon. Salah satu cara dakwah sunan Gunungjati adalah penguatan kedudukan Islam dengan menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh di wilayah itu, yang nantinya menghasilkan berdirinya kerajaan Islam di Banten yang didirikan oleh sultan Hassanudin, cucu sunan Gunungjati.
Beda lagi dengan Sunan Kudus, beliau mempunyai hubungan kekeluargaan dengan sunan Ampel. Sunan Kudus adalah cucu dari saudara tua sunan Ampel yang bernama Ali Murtadho, karena ayah sunan Kudus bernama Sunan Ngudung (Haji Usman) adalah anak dari Ali Murtadho. Memang Sunan Kudus tidak bertemu langsung dengan Sunan Ampel tetapi dalam Atlas Walisongo (2016) diceritakan Sunan Kudus pernah belajar di Ampel Denta, Pondok Pesantren Sunan Ampel yang diasuh oleh penerusnya. Genealogi keilmuan Sunan Muria juga tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan peran Sunan Ampel. Karena Sunan Muria belajar agama Islam dengan ayahnya yakni Sunan Kalijaga. Sedangkan Sunan Kalijaga berguru kepada Sunan Bonang putra dari Sunan Ampel.
Baca Juga: Pentingnya Studi Pesantren Di Perguruan Tinggi: Upaya Menangkal Radikalisme Di Kampus
Selain strategi penguatan jaringan kekerabatan yang dilakukan oleh sunan Ampel yang efektif. Sunan Ampel pun mempunyai ajaran atau falsafah yang diajarkan oleh para santrinya yang diteruskan oleh masyarakat, yakni falsafah Moh Limo artinya tidak melakukan lima hal yang tercela. Kelima hal tersebut adalah moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madon (tidak mau berzina) dan moh madat (tidak mau menghisap candu). Falsafah ini menjawab problem kemerosotan moral masyarakat Majapahit waktu itu dan masih sangat relevan diajarkan di zaman ini.
Jadi kita tidak perlu heran melihat suksesnya syiar Islam di masa itu, karena tempat menimba ilmunya sama, yakni di pesantren Ampel Denta yang diasuh oleh Sunan Ampel. Hasilnya membuat para Walisongo mempunyai corak dakwah yang sama-sama ramah kepada masyarakat pribumi serta adaptif terhadap lingkungan dan tradisi masyarakat pribumi yang ada. Betapapun metode anggota Walisongo dalam mendakwahkan Islam berbeda, seperti metetode kesenian-budaya, kegiatan-kegiatan social-ekonomi maupun menggunakan metode diplomasi dengan Raja-raja di wilayahnya. Maka layaklah sunan Ampel dianggap tokoh kunci terbuka nya dakwah Islam di Nusantara secara massif.