Kemanusian hampir sama tuanya dengan perdaban dan kebudayaan manusia itu sendiri. Kemanusiaan bukan hanya milik peradaban Barat, Kristen atau yang lainnya. Kemanusiaan adalah nilai universal. Dimiliki oleh setiap peradaban, kebudayaan, agama atau kepercayaan dan keyakinan. Karenanya, tak seharusnya kemanusian dipertentangkan dengan tradisi dan kebudayaan manapun, termasuk dengan Islam itu sendiri.
Meski begitu, tidak semua umat muslim dapat menerima pandangan tersebut. Di Indonesia misalnya, masih saja umat muslim yang antipati dan baper terhadap n nilai-nailai kemanusiaan itu sendiri, misalnya Hak Asasi Manusia (HAM). Tidak jarang, konsep HAM dianggap sebagai produk ‘Barat’ dan kafir. Juga dianggap sebagai konsep yang merusak nilai keislaman dan memecah belah umat.
Sikap tersebut tentu tidak muncul secara tiba-tiba. Ada beberapa faktor yang menjadi latar belakang munculnya sikap tersebut, salah satunya adalah kurangnya informasi mengenai Islam itu sendiri. Padahal, jika mau melakukan kilas balik dan merefeksi ulang, tentu kita akan paham bahwa Islam begitu harmonis dan akrab dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Hubungan harmonis tersebut dapat kita temukan setidaknya dalam dua hal, yakni sumber doktrinal Islam dan tradisi keilmuannya. Perihal pertama, kita dapat merujuk pada kitab suci dan syari’at. Sedangkan yang kedua, kita dapat merujuk pada tradisi keilmuan humaniora dalam tradisi Islam.
Kemanusiaan Dan Sumber Doktrinal Islam
Keakraban Islam dengan nilai-nilai kemanusiaan, pertama-tama dapat kita temukan dalam sumber tekstual. Sebut saja yang paling populer adalah Alqur’an. Sangat dimafhum, mahfum bahwa Surat Al-‘Alaq ayat 1 sampai 5 merupakan ayat Alqur’an yang pertama kali diturunkan. Di situ, kata al-insān yang berarti manusia disebutkan sebanyak dua kali. Pertama, pada ayat 2 yang menjelaskan proses kejadian manusia. Kedua, pada ayat 5 yang menjelaskan tentang proses pengetahuan manusia.
Tidak hanya itu, Alqur’an juga telah menyebut ‘manusia’ secara berulang-ulang dan dengan berbagai istilah semisal al-insān, dan basyar. Kata al-insān dalam Alqur’an telah disebutkan tidak kurang dari 64 kali, dalam 63 ayat dan 40 surat. (Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Muhfaras li Alfāẓ Al-Qur’ān Al-Karīm, (Kairo: Dār Al-Ḥadīth, 1364 H), h. 93-94.
Jumlah tersebut tentu belum menghitung derifasi dari lafadz al-insān itu sendiri, semisal al-ins dan an-nās. Begitu juga dengan istilah basyar. Kata basyar dengan arti ‘manusia’ telah didebutkann dalam Al-qur’an tidak kurang dari 34 kali. Dari sisni saja kita tahu, bahwa kemanusiaan merupakan tema yang menjadi perhatian penting dalam kitab suci.
Berikutnya, perhatian Islam terhadap kemanusian juga terdapat dalam aspek syari’at. Hal paling menonjol dari ini dapat dilihat dari tujuan syari’at (maqāṣid al-syarī’ah). Para ulama telah berpendapat bahwa tujuan adanya syari’at tidak lain adalah demi terciptanya kemaslahatan bagi umat manusia. Hal ini dilakukan dengan cara memenuhi dan menjaga segala ḍarūriyāt (kebutuhan primer), ḥājāt (kebutuhan sekunder) serta taḥsiniyāt (kebutuhan tersier) dari manusia.
Dalam konteks ini, ḍarūriyāt mencakup 5 hal, yakni al-dīn, an-nafs, al-‘aql, al-‘iḍ dan al-māl (agama, jiwa, akal, hargadiri dan harta). Ḥājāt mencakup hal-hal yang bisa menghilankan kerugian atau bahaya bagi manusia. Taḥsiniyāt mencakup segala hal yang dapat membimbing manusia menuju mura’ah dan akhlak mulia. Semua ini telah diatur dalam hukum Islam/fikih. (Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh, Cet. II (Al-Haramain: 2004), h. 197).
Kemanusiaan Dan Tradisi Keilmuan Islam
Keakraban peradaban Islam dengan kemanusiaan tidak hanya ditemukan dalam sumber doktrinal saja, melainkan dalam tradisi keilmuan. Terkait hal ini, kita dapat menilik ulang rekam jejak jejak tradisi keilmuan dalam Islam, terlebih ilmu-ilmu Humaniora. Terkait hal ini terlebih dulu kita akan mengahampiri hal-hal yang berkaitan dengan Ilmu Humaniora atau Humanities.
Menurut George Abraham Makdisi, dalam peradaban Islam klasik terdapat banyak tokoh muslim yang berkecimpung dalam studi Humaniora, terutama studi bahasa. (George A Makdisi, The Rise of Humanism in Clasical Islam and The Cristan West, 2005 h. 23) Sebut saja nama Ibnu Abi Ishaq (meninggal 117 H/735 M) yang merupakan pioner ilmu gramatika Arab.
Tidak hanya itu, Ibnu Abi Ishaq juga telah menyusun tata bahasa Arab dengan mengacu pada penggunaan orang Badui, karena bahasa mereka dianggap masih murni. Selain itu, Ibn Abi Ishaq juga diyakini sebagai orang pertama yang memakai analogi linguistik dalam bahasa Arab (Monique Bernards, "Pioneers of Arabic Linguistic Studies." dalam Shadow of Arabic: The Centrality of Language to Arabic Culture, 2011, h. 213).
Keahlian dalam bidang bahasa juga diwarisi oleh kedua murid Ibnu Abi Ishaq, yakni Abu 'Amr ibn al-'Ala' (w. 154 h/ 770 M) dan Harun ibn Musa (w. 170 H/ 786 M) (ʻAmr ibn ʻUthmān Sībawayh, Al-Kitāb Kitāb Sībawayh Abī Bishr ʻAmr ibn ʻUthmān ibn Qanbar, 1988 h. 13). Selain dua ulama tersebut, seorang ahli gramatika Arab yang tidak kalah berpengaruh.
Mereka adalah Abu Bishr Amr ibn Uthman ibn Qanbar al-Basri atau yang dikenal dengan nama Sibawayh. Ia merupakan penulis lingusitik Arab yang pertama. Salah satu karyanya yang paling fenomenal adalah apa yang kini disebut sebagai Al-Kitab, sebuah karya ensiklopedis dari tata bahasa Arab. Dari karya inilah kita dapat menemukan ketiga nama tokoh sebelumnya tadi (Versteegh, “The Arabic Linguistic Tradition” dalam Part of the Landmarks in Linguistic Thought series, vol. 3, 1997, h. 4)
Selain dalam bidang linguistik, rekam jejak kajian Humaniora dalam Islam juga terdapat dalam studi literatur. Studi ini tidak hanya berlaku pada studi literatur Arab-islam saja, melainkan juga akrab dengan literatur-literatur dari luar. Terakit hal ini, kita dapat menyebut nama Al-Kindi sebagai salah satu tokohnhya.
Selama ini, Al-kindi memang lebih terkenal sebagai seorang filsuf. Namun, siapa sangka jika sebenarnya ia juga pegiat studi literatur. Dalam rentang masa hidupnya, Al-Kindi telah gencar melakukan studi literatur Yunani, terutama karya-karya Aristoteles dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab.
Berikutnya adalah bidang filsafat. Kiranya sudah tidak diragukan lagi betapa banyaknya cendikiawan muslim yang menekuni bidang tersebut. Sebut saja beberapa nama besar di antaranya adalah Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina Al-Ghazali dan lain-lain. Selain itu, masih banyak lagi filsuf muslim yang namnya tidak begitu dikenal, semisal As-Sijistani, Al-Amiri, Al-Ma’ari dan lainya-lain.
Tentu dalam hal ini nama Al-Biruni tidaklah boleh dilupakan. Selama ini ia memang dikenal sebagai seorang ilmuwan yang serba bisa. Ia tidak hanya menulis dalam bidang filsafat, matematika, astronomi atau ilmu alam lainnya, melainkan juga melakukan studi antropolgi. Hal ini ia abadikan dalam karyanya yang berjudul al-Atsār al-Baqiyah an al-Qurūn al-Khāliyyahi dan Kitāb al-Hindi. (Akbar S. Ahmed, “Al-Beruni: The First Anthropologist” dalam RAIN No. 60 (Feb., 1984) , h. 9-10.)
Begitu juga dalam bidang sejarah, kita bisa menukan nama-nama sejarawan muslim terkemuka, semisal Ibn Syihab al-Zuhri dan Ibnu Ishaq. Kedua tokoh ini telah menuslis biografi NabiMuhammad, terlebih karay Ibnu Ishaq yang berjudul As-sīrah An-Nabawiyah bisa dikatakan sebagai karya paling komprehensif terkait sejarah hidup Nabi Muhammad.
Itulah sekilas paparan mengenai keakraban antara Islam dengan kemanusiaan dalam sumber doktrinal dan dan tradisi keilmuan. Jika keadaannya semacam itu, masihkah kita akan tetap mempertentangkan Islam dengan nilai-nilai kemanusiaan?
Artikel ini dikirim oleh:
Heru SetiawanStaff Institute for Javanese Islam Research (IJIR) IAIN Tulungagung, Sedang Menempuh Program Doktoral Studi Islam Pascasarjana IAIN Tulungagung.