Pojok Pantura | PojokPantura.Com - Istilah radikalisme sebenarnya tidak selalu bermakna negatif. Dalam filsafat misalnya, salah satu ciri berpikir filosofis adalah berpikir radikal, dalam artian mencari hakikat segala sesuatu hingga ke akarnya. Radikal dalam konteks negative, biasanya mengarah pada suatu pemahaman tentang sikap dan pandangan yang militan, kuat dan keras dalam memperjuangkan aspirasi. Gerakan radikal dimana-mana seringkali menggunakan agama sebagai basis ideologisnya, karena kekuatan doktrin agama sangat ampuh dalam memasukkan ide-ide radikal untuk misalnya, menggunakan kekerasan sebagai jalan meraih kekuasaan.
Pasca Reformasi, paham radikal yang menggunakan agama sebagai basis ideologis mulai merebak dan menyusup ke beberapa sisi kehidupan. Salah satu tempat bersemayamnya radikalisme itu berada di perguruan tinggi. Hasil survei Alvara Research Center pada 2017, menemukan sebanyak 17,8% mahasiswa mendukung pendirian khilafah sebagaimana diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kemudian Pada 2018, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan dalam hasil kajiannya, sekurang-kurangnya ada tujuh perguruan tinggi yang terpapar radikalisme. Lalu pada 2019. Setara Institute merilis 10 perguruan tinggi yang terkenal aliran radikalisme. Beberapa perguruan tinggi-perguruan tinggi itu diantaranya adalah Universitas Diponegoro, Universitas Gajah Mada, Institut Teknologi Bandung, Universitas Brawijaya, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kampus-kampus yang disebut diatas memang hanya ada satu kampus PTN Islam. Tetapi itu bukan jaminan kampus-kampus Islam baik negeri maupun swasta terbebas dari kampanye terselubung radikalisme di lingkungan mereka. Ada beberapa metode doktrinasi paham radikalisme, diantaranya melalui ceramah keagamaan di masjid kampus, perekrutan anggota organisasi radikal dan penyampaian materi kuliah yang disisipi pemahaman radikal. Corak kegiatan gerakan ekslusifitas keagamaan yang berpaham radikal ditandai dengan tiga hal, yakni pertama, mereka cenderung berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist tanpa mempunyai pemahaman yang komrehensif dan banyak dari mereka yang tidak pernah mengenyam Pendidikan pondok pesantren. Kedua, mereka selalu beranggapan bahwa agama Islam dalam kondisi tertekan. Ketiga, mereka cenderung membenci individu maupun kelompok yang berbeda pandangan dengan kelompoknya.
Salah satu sebab masifnya perkembangan paham radikalisme di kampus adalah sedikitnya forum-forum kajian diskusi yang sekarang ada di kampus. Ketika ruang-ruang diskusi dimana kebebasan akademik berkembang dan menjamur di kampus, maka saat itu pula wacana radikalisme akan sulit masuk ke dalam ruang-ruang kampus. Karena narasi radikal akan termentahkan jika bertemu dengan kajian pembandingnya. Pemerintah dalam hal ini tidak boleh memberangus kebebasan ruang-ruang diskusi akademik di kampus, karena itu akan mematikan semua pemikiran dan diskursus itu sendiri.
Dalam hal ini, salah satu ikhtiar yang perlu dicoba untuk menangkal penyebaran radikalisme di kampus adalah dengan menghadirkan diskursus tentang studi pesantren. Wacana harus dihadapi dengan wacana ataupun kajian harus di hadapi dengan kajian pula, tidak boleh dihadapi dengan kekerasan. Beberapa perguruan tinggi sudah ada yang memulai dengan mendirikan lembaga-lembaga pusat studi pesantren, semisal yang sudah ada di IAIN Surakarta, IAIN Tulungagung dan Universitas Brawijaya. Mungkin tidak hanya dibuatkan lembaganya saja, tetapi studi pesantren juga dimasukkan di ruang-ruang kelas sebagai matakuliah seperti yang sudah ada di UNU Jakarta. Matakuliah studi pesantren bisa diterapkan di beberapa tempat, seperti di fakultas/jurusan Tarbiyah/Pendidikan, ilmu-ilmu Humaniora ataupun ilmu Filsafat juga bias ditempati studi pesantren. Jadi sejak dulu, pandangan tentang pesantren yang hanya mengajarkan ilmu untuk beribadah serta orang-orang di dalam pesantren berpikiran kuno dan kolot itu salah besar.
Studi pesantren sesungguhnya penting untuk dikajikan lebih jauh dan dalam, karena disitu akan kita temukan pelbagai diskursus keislaman yang sangat kompleks seperti sejarah, filsafat hidup, pendidikan, mistisisme, ekonomi, politik dan masih banyak lagi. Semua diskursus itu akan mengerucut kepada risalah Islam yang rahmatan lilalamin, moderat, toleran dan progresif. Lewat studi pesantren, paham radikalisme yang menggunakan agama sebagai basis ideologi akan sangat mudah dimentahkan jika bertemu dengan wacana studi pesantren, baik itu logika berfikirnya maupun dasar hukum agamanya. iInilah salah satu ikhtiar yang harus kita lakukan untuk menangkal paham radikalisme yang mengancam masyarakat Indonesia. Lebih-lebih alumni pesantren sekarang sudah tersebar di pelbagai perguruan tinggi, baik itu menjadi dosen maupun mahasiswa yang itu menjadikan modal berharga untuk memulai diskursus studi pesantren di kampusnya.
Baca Juga: Praktek Sosialistik Dalam Pendidikan Islam
Perumusan tema bahasan dalam studi pesantren juga sangat beragam. Beberapa factor yang melatarbelakangi diantaranya eksistensi pesantren sebagai Lembaga Pendidikan tertua di Indonesia sampai sekarang terus berkembang kearah yang lebih baik dan dinamikanya tidak menghilangkan kekhasan tiap pesantren serta fenomena-fenomena unik lain yang layak diteliti. Tema-tema berikut ini, adalah materi yang disampaikan dalam matakuliah studi pesantren di kampus UNU Jakarta, yang mungkin bisa menjadi referensi agar kajian studi pesantren menjadi lebih hidup dan terus berkembang, diantara tema itu adalah Melacak akar sosio-histeriografi pesantren dalam transisi budaya nusantara pra-Islam dan masa Islam, ‘Arkan’ Pesantren: Distingsinya dengan pranata social-budaya lainnya, Kiai-Santri sebagai agen perubahan Islam nusantara dari masa ke masa, Pesantren sebagai pusat studi Islam nusantara dari masa ke masa, Pesantren sebagai pusat spiritualisme Islam: pesantren dan Tarekat, Pesantren sebagai pusat jaringan ulama global, Kitab kuning sebagai tradisi literasi pesantren, Kosmopolitan pesantren dalam jejaring kebangsaan dan kebhinekaan, Pesantren, transformasi social dan pembangunan nasional, Pesantren dalam system Pendidikan nasional, Kiai-Santri-Pesantren di era milenial, serta Pandangan hidup dan kepribadian kiai-santri.