Sebagai umat Islam, tentu kita sering mendengar istilah Asma’ul Husna. Secara literer, istilah tersebut berarti ‘nama-nama yang baik’. Meski demikian, istilah Asma’ul Husna sering digunakan secara khusus, untuk menyebut nama-nama lain Allah, mulai dari Ar-Raḥmān , Ar-Raḥīm dan seterusnya. Karena itulah, Asma’ul Husna juga sering diartikan dengan sekumpulan ‘nama-nama baik Allah’.
Bagi umat Islam, Asma’ul Husna dianggap sebagai salah satu ajaran penting. Selain karena bersentuhan langsung dengan nama-nama Allah, keberadaan Asma’ul Husna juga disinggung langsung dalam QS. Al-Ḥasyr [59]: 24.
“Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al-Ḥasyr [59] : 24)
Karena alasan-alasan itulah, Asma’ul Husna pada akhirnya tidak hanya sering diajarkan, namun juga dihafalkan dan dipahami artinya. Hal ini bisa kita saksikan di pondok pesantren, madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Selain itu, hal kajian dengan tema Asma’ul Husna juga sering teradi dalam pengajian, majlis tabligh dan lain-lain.
Melihat semua itu, sebagi umat Islam kita tentu harus bangga, juga memberikan apresiasi. Namun kita tidk boleh lupa bahwa kita harus selalu berinovasi dan meningkatkan kualitas kita. Dengan begitu, seyogjanya tetap harus merefleksi dan bertanya. Pembelajaran, pengkajian dan menghafal Asma’ul Husna saja sudah cukup, sehingga dengan melakukan semua itu kita bisa menjadi hamba yang selamat dan beruntung dunia akhirat? Menjawab pertanyaan ini, menarik kiranya jika menilik pendapat Al-Ghazali.
Dalam kitab Maqṣad al-Asnā Syarḥ al-Asmā’ al-Ḥusnā (Damaskus: Mathba’ah Shabah, 1999, hlm. 29), Al-Ghazali mennyatakan bahwa mendengar, memahami dan menyakini sifat-sifat serta nama-nama Allah saja tidaklah cukup. Untuk menjadi seprang hamba yang beruntung serta mulia di sisi Allah, seseorang harus mengambil sebuah peran, berbudi pekeri sepertihalnya makna yang terkandung dalam nama-nama Allah.
Lantas bagaimana cara anda menghayati asmaul husna? Menurut Al-Ghazali ada tiga tahapan proses yang harus dilakukan oleh manusia dalam mewujudkan hal itu. ada tiga peran yang bisa dilakukan sebagaimana berikut:
Pertama, Mengetahui makna-makna nama Allah dengan cara mukasyafah dan musyahadah. Hal ini dilakukan dengan cara mencari bukti dan argumentasi secara yakin, tanpa ada kesalahan. Dengan begitu tersingkaplah hati seserorang, sehingga mengetahui bahwa Allah memiliki sifat-sifat mulia sepertihalnya yang terkandung dalam Asma’ul Husna.
Kedua, Setelah mengetahui semua itu, ia lantas mengagungkan sifat-sifat Allah tersebut. Dengan begitu, seseorang akan selalu ‘dekat’ dengan Allah. Dalam keadaan ini, is akan selalu meyakini keberadaan Allah beserta segala kesempurnaan dan kemuliaan-Nya. Dengan begitu, ia akan terpacu untuk selalu mendekatkan diri dengan Allah, dengan cara berperilaku sepertihalnya sifat-sifat-Nya.
Ketiga, ia harus merealisasikan keinginan tersebut. Caranya adalah dengan berusaha untuk berperilaku, bersikap dan berbudi pekerti seperti sifat-sifat Allah. Tentu hal ini dilakukan sesuai kadar kemampuan seseorang. Sehingga ia melakukan semua itu dengan tetap mempertimbangkan mana hal yang mungkin ia kerjakan dan mana yang tidak mungkin. Dengan bersikap seperti ini, seseorang akan menjadi hamba Allah yang mulia dan beruntung.
Lantas apakah semua itu mungkin dilakukan dan bagaimana caranya? Tentu hal itu mungkin, meski dalam taraf yang berbeda. Tentunya, maksud dari bersikap dan berbudi pekerti sepertihalnya sifat-sifat Allah bukanlah melakukan hal yang sama persis seperti yang dilakukan oleh Allah.
Allah adalah Dzat yang maha sempurna, sedangkan manusia memiliki keterbatasan. Sehingga mustahil bagi manusia untuk melakukan hal yang dilakukan oleh Allah dengan sama persis. Oleh karena itu, hal yang paling memungkinkan dilakukan dalam rangka menghayati dan mempraktikkan sifat-sifat Allah adalah dengan meniru, bersikap dan berperilaku ‘mirip’ sifat-sifat Allah.
Lantas bagimana cara melakukannya? Terkait hal ini, kita bisa mengambil contoh dari Al-Ghazali saat mengulas Ar-Raḥmān, Ar-Raḥīm. Kedua asma Allah itu, secara literer dapat diatikan dengan ‘Maha Pengasih’ dan ‘Maha Penyayang’. Dengan begitu, kedua asma itu memberi sinyal kepada kita bahwa Allah memiliki sifat kasih-sayang, atau welas-asih.
Masih menurut Al-Ghazali, peran yang harus dimainkan oleh seseorang dalam menghayati asma Ar-Raḥmān dan Ar-Raḥīm itu adalah menyayangi dan mengasihi semua hamba yang terlena. Hal ini dilakukan dengan cara menuntun mereka menuju jalan yang benar, melalui nasehat dan mauidzah. Keduanya juga harus dilakukan dengan cara yang halus, bukan dengan kekerasan (Maqṣad al-Asnā hlm. 29).
Tidak hanya itu, setiap kali menyaksikan pelaku maksiat, maka ia harus melihatnya dengan penuh kasih sayang dan welas asih. bukan dengan merendahkan dan menghina. Baginya, kemaksiatan itu yang ada di dunia dianggap layaknya kemaksiatan dari dirinya sendiri, lantas berusaha untuk menghilangkan. Sekali lagi, semua itu dilakukan dengan maksud untuk mengasihi dan menyayangi para pelaku maksiat, agar mereka terhindar dari murka Allah.
Sampai sini, kita menjadi tahu bagaimana hal baik seperti Asma’ul Husna tidaklah cukup hanya dipelajari, dipahami atau dihapalkan, melainkan juga harus dipraktikkan dengan cara yang baik pula. Bukan sekadar diteriakkan atau dipraktikkan dengan cara kekerasan, menghina atau memusuhi.
Wallāhu A’lam Biṣṣowāb...
Artikel ini dikirim oleh:
Heru SetiawanStaff Institute for Javanese Islam Research (IJIR) IAIN Tulungagung, Sedang Menempuh Program Doktoral Studi Islam Pascasarjana IAIN Tulungagung.