Zaman Rasulullah SAW
Semua sejarawan Islam sepakat bahwa masa keemasan Islam ada di zaman Rasulullah.
Rasulullah SAW hanya membutuhkan waktu 23 tahun untuk membuat fondasi peradaban Islam lebih maju dan berkembang dari peradaban manapun di dunia saat itu. Tetapi perlu dicatat juga bahwa 13 tahun awal Rasulullah mendakwahkan Islam di Mekkah tergolong kurang sukses, karena banyak sekali umat Islam masih tertindas, bahkan Rasulullah pun sempat mau dibunuh beramai-ramai oleh kafir Mekkah yang kemudian membuat beliau hijrah ke Madinah.Terhitung secara efektif, Rasulullah dan para sahabatnya dengan susah payah dan berdarah-darah hanya butuh waktu 10 tahun saat di Madinah untuk menguatkan sendi-sendi peradaban Islam ke arah yang lebih humanis, terutama yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak sipil non muslim yang teraplikasikan dengan sangat baik.
Rasulullah memberikan status konstitusional yang legal dengan bentuk perlindungan melalui beragam perjanjian damai kesepakatan, kontrak dan seluruh maklumatnya dengan warga non muslim. kontrak kerjasama yang berhasil disepakati bersama rakyat Najran merupakan diantara contoh bersejarah ketika hak dan kebebasan (khususnya kebebasan beribadah) dijamin dengan sangat baik.
Imam abu ubaid al-Qasim bin Salam, Imam Humaid bin Zanjawaih, Ibnu Sa'ad dan al-Baladhuri telah mengutip sebuah hadis yang didiktekan langsung oleh Rasulullah sebagai berikut:
“Seluruh kabilah najran berada di dalam jaminan Allah dan jaminan Muhammad Rasulullah atas darah, jiwa, agama, tanah, harta pendeta dan uskup mereka yang hadir dan yang absen di kalangan mereka serta yang lainnya, utusan dan simpatisan mereka. Uskup dan pendeta mereka tidak boleh diganggu karena keuskupan dan kependetaan mereka, serta sakramen mereka atas apa yang mereka miliki sedikit atau banyak. Mereka juga tidak boleh dibebani melebihi kemampuan mereka.”
(Dikutip oleh abu Yusuf dalam al-Kharaj no. 78, Abu Ubaid al-Qosim bin Sallam dalam al-Amwal hal 244-245, Ibnu Sa'ad dalam al-Thabaqat al-Kubra 1:288).
Imam Humaid Zanjawaih menyatakan bahwa setelah wafatnya Rasulullah perjanjian ini tetap berlaku hingga zaman pemerintahan Abu Bakar as Siddiq. Kemudian beberapa amandemen dilakukan di zaman Umar dan Utsman dikarenakan munculnya perubahan situasi pada zaman itu. Namun, tanggung jawab perlindungan hak-hak warga sipil muslim yang menjadi ciri khas konstitusi ini tetap utuh.
Rasulullah mendeklarasikan juga tentang peraturan kepemilikan orang Yahudi pada saat penaklukan khaibar. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, Imam at-Thabrani dan Imam hadis yang lainnya bahwa Khalid bin Walid berkata:
“Kami pernah ikut dalam perang khaibar bersama Rasulullah maka para sahabat dengan cepatnya, mereka masuk ke dalam benteng Yahudi. Kemudian Rasulullah memerintahkan saya untuk mengumandangkan adzan. Kemudian nabi bersabda, “sesungguhnya kalian telah masuk dengan cepat ke dalam benteng Yahudi. Ingatlah! Harta orang-orang kafir yang berada di dalam perjanjian tidak halal kecuali dengan alasan yang benar“.
Ungkapan yang sama telah diriwayatkan dalam hadits berikut ini, “ingatlah! Tidak halal harta orang-orang kafir yang berada di dalam perjanjian tanpa alasan yang benar.” (HR. at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir)
Dalam perjanjian, dokumen, dan deklarasi tertulis itu kita dapat melihat bahwa warga sipil non muslim pada zaman Rasulullah mendapat hak-hak berikut ini:
- Mendapatkan perlakuan sama dimata hukum.
- Perlindungan agama mereka dari gangguan apa saja.
- Perlindungan kehormatan, nyawa dan kepemilikan (harta benda).
- Pemerintah Islam dapat mengangkat perekonomian posisi administratif penting melalui proses kualifikasi yang diperlukan.
- Mereka memiliki otoritas untuk mengangkat agamawan yang merupakan representasi dari agama mereka sekaligus pejabatnya tanpa mendapat campur tangan pemerintah Islam.
- Tempat ibadah mereka terlindungi kesuciannya dengan perlindungan total.
Zaman Khalifah Abu Bakar Siddiq
Perlindungan yang diberikan terhadap nyawa, kehormatan dan kepemilikan warga sipil non muslim bukan hanya terjadi di zaman Rasulullah saja. Di zaman Al Khulafaur Rasyidin yang menggantikan posisi Rasulullah pun peraturan yang sama terus berlanjut untuk memberikan pengakuan layak terhadap warga sipil non muslim.
Pada zaman Khalifah Abu Bakar as Siddiq warga sipil non muslim memiliki hak yang sama sebagai bagian dari komunitas muslim. Kemana saja pasukan Islam melakukan ekspedisi militernya, maka Abu bakar selalu memberikan perintah khusus kepada komandannya. Dalam al-Sunan al-Kubro dan al-Muwaththa’ tertulis perintah Abu Bakar sebagai berikut:
“Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi ini dan janganlah melanggar perintah. Janganlah engkau menebang dan membakar pohon kurma janganlah menyembelih binatang dan menebang pohon yang sedang berbuah janganlah merupakan tempat ibadah jangan membunuh anak-anak orang tua renta dan wanita. kalian akan menjumpai orang-orang yang berlindung di tempat-tempat ibadah maka biarkanlah mereka itu dan tempat persembunyiannya mereka itu.
Tsabit al-Hajjaj al-Kilabi meriwayatkan bahwa abu bakar ash-shiddiq berkata ketika ia mengirimkan utusannya
ألا لا يقتل الراهب في الصومعة
“Ingatlah! Pendeta di gereja tidak boleh dibunuh”
Disebutkan oleh abu Yusuf dalam Al-Kharaj, bahwa ketika Khalid bin Walid di zaman Khalifah Abu Bakar as Siddiq kembali ke Irak dan Iran melalui perbatasan Syiria dia membuat perjanjian dengan komunitas non muslim di sana bahwa gereja dan biara mereka tidak akan pernah dihancurkan. Mereka juga diberi hak untuk memukul lonceng (naqus) mereka tanpa larangan, kecuali saat shalat lima waktu. Bahkan mereka dapat membawa salib mereka pada kesempatan hari raya mereka.