Shalat merupakan ibadah terpenting dalam agama Islam. Buktinya Rasulullah menyebutkan dalam sebuah hadist bahwa shalat seperti tiyangnya agama. Barangsiapa seorang muslim mendirikan shalat, maka ia seperti mendirikan agama. Begitu juga sebaliknya, bagi seorang muslim yang tidak shalat, makai ia sedang merobohkan agama.
Pentingnya kedudukan ibadah shalat, juga tercermin dalam sebuah hadist yang menjelaskan tentang keutamaan ibadah shalat dan pertanggungjawabannya. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ صَلَحَتْ , فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ , وَإِنْ فَسَدَتْ , فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ
“Sungguh hal yang pertama dimintai pertanggungjawaban dari seorang hamba kelak di hari kiamat adalah salat, jika salatnya bagus beruntunglah ia, jika tidak, merugilah ia”
Tiap muslim wajib mengetahui pentingnya kedudukan ibadah shalat. Sehingga ia tak main-main melakukannya atau bahkan meninggalkannya. Sebenarnya sebagian dari kalangan muslimin yang meninggalkan shalat itu karena urusan duniawi, seperti main game, larut dalam kerjaannya ataupun menunda-nunda melakukan shalat sampai waktu shalat habis. Ketika sudah ingat kelalaiannya, namun tidak langsung mengqadlanya.
Parahnya lagi, itu sering dialami sehingga sudah tak terhitung berapa kali ia meninggalkan shalat dari pertama kali diwajibkan shalat yakni mulai akil balighnya. Seiring lewatnya tahun demi tahun, ia mulai tersadar dan merasa menyesal tidak melaksanakan kewajiban shalat. Hingga akhirnya ia berinisiatif mulai sejak saat itu akan taat menjalankan kewajiban agamanya yang berupa shalat.
Namun dalam hati kecilnya ia sempat bertanya-tanya, tentang bagaimana shalat yang ia tinggalkan selama bertahun-tahun, apakah tetap wajib untuk di qadla’ seluruhnya? Mengingat jumlahnya yang begitu banyak dan nyaris tidak dapat diprediksi berapa banyak jumlah shalat yang telah ia tinggalkan. Dan bagaimana ketentuan mengqadla shalatnya?
Kewajiban Mengqadla Shalat
Kewajiban mengqadla shalat itu sudah menjadi kesepakatan (ijma’) para ulama madzahib al-Arbaah. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Fiqh al-Manhaji:
وقد اتفق جمهور العلماء من مختلف المذاهب على أن تارك الصلاة يكلف بقضائها، سواء تركها نسياناً أم عمداً، مع الفارق التالي: وهو أن التارك لها بعذر كنسيان أو نوم لا يأثم، ولا يجب عليه المبادرة إلى قضائها فوراً، أما التارك لها بغير عذر- أي عمداً - فيجب عليه - مع حصول الإثم - المبادرة إلى قضائها
“Mayoritas ulama dari pelbagai madzhab sepakat bahwa seseorang yang meninggalkan shalat dituntut untuk mengqadlanya. Baik tak melupakan shalat karena lupa ataupun sengaja. Yang membedakannya ialah jikalau orang yang meninggalkan shalat karena udzur, seperti karena faktor lupa atau tertidur, maka ia tak berdosa, dan ia tidak diwajibkan mengqadla shalatnya sesegera mungkin. Namun bagi orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka ia terkena dosa dan diharuskan segera mengqadla shalatnya.”
Dengan demikian, mengqadla’ shalat berapapun jumlahnya merupakan perkara yang wajib dilakukan, betapapun ia ia tak melakukan shalat selama bertahun-tahun. Jika ada pertanyaan, bagaimana ketentuan dan cara mengqadla shalatnya. Mengingat, pasti dibayang-bayang akan timbul angka rakaat yang banyak dan malas melakukannya. Pertanyaan di atas, untuk lebih mengetahui jawabannya, maka simak paragraf-paragraf di bawah ini.
Ketentuan Mengqadla Shalat
Setelah tahu wajibnya mengqadla shalat yang ditinggalkan berapapun jumlahnya. Maka kemudian harus tahu juga tata cara atau ketentuan dalam mengqadla shalat agar tidak terjadi kesalahan dalam mempraktikannya. Setidaknya ada 3 ketentuan, di antaranya:
Pertama, Perihal jumlah salat yang wajib diqadha’. Dalam hal ini wajib mengqadla semua shalat yang pernah ditinggalkan. Muncul pertanyaan bagaimana jika lupa jumlahnya? Jawabannya wajib mengqadhla hingga yakin sudah tidak ada shalat yang belum diqadlanya. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib Al-Arba’ah:
من عليه فوائت لا يدري عددها يجب عليه أن يقضي حتى يتيقن براءة ذمته، عند الشافعية، والحنابلة؛ وقال المالكية، والحنفية: يكفي أن يغلب على ظنه براءة ذمته
“Seseorang yang memiliki tanggungan shalat dan ia tidak tahu jumlahnya, dia wajib meng-qadha’ shalatnya sampai yakin tanggungannya sudah terpenuhi. Pendapat ini menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali. Adapun menurut mazhab Maliki dan Hanafi cukup dengan adanya dugaan kuat, meski tidak sampai taraf yakin”
Kedua, waktu mengqadla. Banyak ulama’ yang berpendapat bahwa seseorang yang meninggalkan shalat tanpa halangan syar’i, maka ia tak dibolehkan melakukan apapun selain mengqadha’ shalat. Jadi ia cuma diperbolehkan melakukan aktifitas lain untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Tentu hal ini sangat berat dilakukan kebanyakan orang. Tetapi, ada pendapat dari Al-Imam Abdullah Al-Haddad yang dapat dijadikan pegangan buat solusi. Sebagaimana dikutip dalam Bughyah al-Musytarsyidin:
ومن كلام الحبيب القطب عبد الله الحداد : ويلزم التائب أن يقضي ما فرط فيه من الواجبات كالصلاة والصوم والزكاة لا بد له منه ، ويكون على التراخي والاستطاعة من غير تضييق ولا تساهل –إلى أن قال- وهذا كما ترى أولى مما قاله الفقهاء من وجوب صرف جميع وقته للقضاء ، ما عدا ما يحتاجه له ولممونه لما في ذلك من الحرج الشديد
“Sebagian dawuh Al-Habib Abdullah Al-Haddad: seseorang yang sudah bertaubat, hukumnya wajib mengqadla kewajiban shalat, puasa dan zakat yang pernah ia tinggalkan dari baligh sampai orang itu memutuskan taubat. Kewajiban ini dilakukan semampunya. sehingga ia tidak merasa sulit dan keberatan. Namun juga tidak boleh sampai menganggap sepele dan ringan. Pendapat ini -seperti yang anda lihat- lebih utama dari pendapat ulama yang mengatakan tidak boleh melakukan apapun selain mengqadla shalat. Ia cuma diperbolehkan melakukan aktifitas lain untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Karena yang demikian itu pasti akan menyebabkankan kesulitan”
Maka berdasarkan pendapat ini, ia tidak harus menghabiskan seluruh kesempatannya untuk mengqadla shalat. Ia cukup mengqadla semampunya, akan tetapi tidak sampai mengangap remeh tanggungan tersebut. Jika lelah ia boleh beristirahat dan melanjutkannya ketika sudah siap dan segar kembali.
Ketiga, cara mengqadla. Tata cara mengqadla salat ialah dengan melakukan shalat seperti biasa, tergantung shalat yang ia tinggalkan. Namun hanya ada satu perbedaan , yakni perihal masalah niat. Contoh niat shalat qadha’ adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي فَرْضَ الْمَغْرِبِ ثلاث رَكعَاتٍ قَضَاءً لله تَعَالَى
Terakhir, hal yang tak kalah penting ialah shalat qadha’ tidak terikat oleh waktu. Mengqadla shalat ashar dapat dilakukan di waktu dzuhur atau waktu yang lain. Untuk menghindari perasaan menyepelekan hingga meninggalkan shalat, salah satu resepnya yakni tunaikan shalat di awal waktu. Hal itu dilakukan supaya bisa menang melawan hawa nafsu duniawi dan rasa malas yang sering hinggap saat adzan berkumandang.
Umat Islam seyogyanya senang ketika tiap waktu shalat telah tiba. Karena shalat, menurut sebagian ulama, merupakan bentuk dialog dengan Allah. Makanya umat Islam ketika hendak shalat, dituntut untuk suci, berpakaian baik dan tentunya khusyuk. Hal-hal tersebut wujud ketundukan hamba kepada sang maha pencipta ketika dialog dalam shalat. Dengan demikian, janganlah shalat dianggap sebuah beban rutinitas belaka. Karena hal itu akan sangat merugikan bagi yang merasakannya.