Allah menciptakan manusia itu paling sempurna di antara semua makhlukNya. Semua jenis makhluk tak punya perengkat selengkap yang Allah karuniakan kepada manusia. Kesempurnaan manusia tentu di ‘mata’ Allah tetap manusia itu makhlukNya. Tanpa anugerah kekuatan, ilmu dan petunjuk dari Allah, manusia tak bisa apa-apa. La Haula wa La Quwwata Illa BiLlah (Tak ada upaya dan tiada kekuatan kecuali milik Allah).
Pada hakikatnya, Allah menciptakan makhlukNya, termasuk manusia hanya untuk beribadah kepadaNya. Namun jangan sangka Allah butuh disembah manusia. Melainkan manusia-lah yang membutuhkan ibadah agar mereka selamat di dunia dan akhirat. Di sisi lain, ketika Allah memerintahkan manusia, pastilah Allah akan memberikan kekuatan dan ‘fasilitas’ kepada manusia untuk beribadah.
Nah. tulisan ini akan menyoroti perihal perasaan mampu beribadahnya seorang hamba yang mungkin itu akan berdampak buruk baginya.
لا تُفْرِحْكَ الطّاعَةُ لأَنَّها بَرَزتْ مِنَكَ، وَافْرَحْ بِها لأَنَّها بَرَزتْ مِنَ اللهِ إلَيْكَ. قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Janganlah ketaatanmu kepada Allah membuatmu gembira lantaran engkau merasa mampu melaksanakannya. Akan tetapi, bergembiralah kepada-Nya lantaran ketaatan itu terjadi karena karunia, taufiq dan hidayah Allah kepadamu.Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan
Tiap manusia yang beragama Islam, pasti akan bahagia jika ia telah selesai beribadah kepada Allah. Bahkan kadangkala ia akan mengingatnya dimomen-momen tertentu. Kebahagiaan ini, sesungguhnya harus kita pertanyakan kepada diri kita masing-masing. Apakah kita Bahagia telah melakukan ibadah itu karena kemampuan kita, atau bahagia karena masih diberi pertolongan dan petunjuk dari Allah?
Di sini kita bisa melihat Kebahagiaan seorang Muslim terhadap ketaatannya itu terbagi menjadi dua jenis. Jenis pertama kebahagiaan dengan melihat sisi ketaatan/ibadah dalam segala bentuk itu sebagai nikmat yang dianugerahkan dari Allah kepada kita. Kebahagiaan ini ialah yang terpuji, yang mana diperoleh dari seorang hamba yang selalu bersyukur. Sedangkan jenis kedua, yakni kebahagiaan dengan melihat ketaatan itu lahir karena kemauan, kemampuan, upaya dan kegigihan diri, maka ini kebahagian yang tercela. Jenis kedua ini sesungguhnya bisa membuat seseorang kufur nikmat dan musyrik (menyekutukan Allah).
Musyrik ini disebut syirik khofi (samar). Karena memang syirik jenis ini ada dalam hati dan sangat tipis sekali dengan syukur. Perihal ini kita harus berhati-hati, sebab dalam hati muncul ujub/sifat sombong yang bisa menghapus kebaikan amal taat itu sendiri. Betapapun, seperti yang disinggung diawal, Allah tak membutuhkan orang yang beribadah padanya. Kegembiraan dengan karunia dan rahmat Allah itu yang lebih baik dari harta benda dan apa saja dikumpulkan manusia. Karena semua itu akan lenyap tak berbekas. Namun karunia dan rahmat itu kekal dan abadi sampai sampai membawa kita ke akhirat serta bertemu dzat-Nya.
Berikut penggambaran seorang muslim dulunya malas-malasan beribadah lalu ia dianugerahkan kekuatan oleh Allah untuk beribadah dan taat kepadaNya. Jika dahulu ia memaksa dirinya untuk taat pada Allah, sekarang ia merasa mudah untuk beribadat dan tidak merasa berat walaupun banyak juga ibadah yang sudah dijalani. Perubahan yang berlaku ini tentu disadarinya dan ia pastinya juga begitu bergembira dengan perubahan tersebut. Kadangkala ia mengkomparasikan kualitas dan kuantitas ibadahnya dengan yang dijalani orang lain, yang ia anggap levelnya masih dibawahnya.
Maka Bertambah terlihatlah dimatanya akan kekuatannya melakukan ibadah. Bertambah pula kegembiraan baginya. Mungkin awalnya seorang muslim ini kuat azamnya untuk berjuang membuang sifat-sifat tercela, tambahnya ketaatan dan menghidupkan sifat-sifat terpuji. Namun bisa keluar dari kemalasan dan kegelapan itu, ia melihat sifat-sifat terpuji sudah menghiasi dirinya. Secara manusiawi, mungkin muncullah kegembiraannya karena usahanya telah menghasilkan sesuatu yang baik.
Begitulah kesan yang muncul pada orang yang bersandar kepada usaha dan amalnya. Inilah yang selalu berlaku kepada orang yang masih diperingkat permulaan, sebelum hatinya mencapai kematangan. Orang yang bersandar kepada usaha dan amalnya tidak dapat maju dalam bidang ketauhidan. Apabila ia berkehendak maju berjalan menuju Allah, maka ia harus mengubah cara pandangnya kepada ketaatan. Ia tak boleh lagi memandang dari amal kepada Allah, sebaliknya dia hendaklah memandang dari Allah kepada amal.
Baca Juga: Ingatlah Pada Allah Maka Allah Akan Mengingatmu
Seorang muslim tak seharusnya merasa gembira melihat amalnya membawanya dekat dengan Allah, karena penglihatan begini mengandungi tipu daya. Ia hendaklah memandang Allah saja yang bertindak membawa menuju kepada-Nya. Amal yang lahir daripadanya ialah anugerah Allah sebagai tanda bahwa seorang muslim dipersiapkan untuk bertemu dengan TuhanNya. Inilah seharusnya ia sadari sebagai muara kegembiraan.